Oleh:
Prof. Dr. Fahmi Amhar
"Seorang
dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila
ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan
salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya"
Kalau
kita mencoba melakukan analisis atas kualitas suatu ummat, tak terkecuali ummat
Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita
katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu
bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju.
Qualitas
ummat terbaik adalah ditemui pada generasi Nabi, generasi sesudahnya
(Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin). (HR Bukhari, dll).
Qualitas
itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya dalam
menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS 3:110). Tugas ini
memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada
Allah saja, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah "muttaqin per
kapita" yang terbanyak adalah di zaman Nabi.
Di
zaman sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun
wilayah Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban
baik dalam ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju
"masa keemasan"-nya. Dalam konteks materialisme seperti pada
budaya Barat, memang qualitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban
(iptek, kesenian, arsitektur, etc). Namun dalam konteks Islam,
ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma'ruf nahi
munkar. Jadi peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata. Motivasi
amar ma'ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan
peradaban yang maju, karena berlaku prinsip: "APA YANG DIPERLUKAN UNTUK
MEMENUHI YANG FARDH, HUKUMNYA JUGA FARDH".
Bila
kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa
dibagi dalam tiga tahapan:
1.
Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2.
Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3.
Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.
1
Kekaburan Fikrah Islamiyah
1.1
Merebaknya Mitos
Kekaburan
fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam
kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam. Akibatnya,
berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik
Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik
itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba "mengawinkannya dengan
Islam" atau dengan kata lain: "mengislamkan mitos" dan
"memitoskan Islam".
Contoh
dari mitos ini banyak sekali. Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan
dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa
dilacak secara rasional. Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika
beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos. Person Rasul
berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (sebagai uswatun
hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan belakangan,
seorang 'alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya
bisa benar maupun salah, tiba-tiba dipandang sebagai "orang suci"
yang tidak mungkin salah, sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus, atau
orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.
Ketika
seseorang bisa menjadi "kult-figur" karena mitos, maka orang-orang
yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana.
Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat
Qur'an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau
palsu. Maka muncullah bid'ah di mana-mana.
1.2
Pengabaian Bahasa Arab
Kekaburan
fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara.
Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan
bersama-sama dengan "arabisasi". Dengan itulah, maka
orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari
etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam.
Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur'an, yang memang paling kaya di
antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi
ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam. Tak ada suatu kata yang
tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.
Adalah
keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah, ketika mereka
memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih
mudah "diserap" tanpa barier bahasa Arab. Namun akibatnya, di
negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi "hak
istimewa" selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat,
khasanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab,
menjadi tertutup.
1.3
Surutnya Ijtihad
Akibatnya,
ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan
dengan cukup. Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi
zaman, bila mereka terus menerus berijtihad. Sedangkan ijtihad hanya bisa
dikerjakan dalam bahasa Arab klasik. Ketika sebagian orang nekad
berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai "fatwa
nyleneh", sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk
"menutup pintu ijtihad". Suatu keputusan berniat baik namun
gegabah dan justru memperburuk suasana.
Karena
ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi muskil
dipecahkan dengan Islam. Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari
luar Islam. Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke
negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem
hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih "menguji" agar
"tidak bertentangan dengan Islam". Namun kekaburan ini sudah
terlanjur menjadi, dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang
diimpornya itu didasarkan pada mitos. Bahkan lambat laun mereka cukup
fanatik pada sistem asing itu, karena telah ada seseorang yang juga sudah
dimitoskan yang melegitimasinya.
2
Kekaburan Thariqah Islamiyah
Islam
bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode
untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term
"thariqah". Bila kita selidiki, semua perintah-perintah ilahi
selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah
fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.
Sebagai
contoh, "Berimanlah" adalah perintah fikrah. Perintah thariqah
yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut mengamati alam serta
melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman, dan perlindungan iman
termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh
lain, "Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci" adalah perintah
fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas
kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan
keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang
terkait.
Kekaburan
atas thariqah Islamiyah bisa dibagi dalam tiga tahap:
2.1
Kendurnya Jihad
Pada
awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta
untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang
fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya
untuk Allah belaka (QS 2:193).
Dan
karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin
menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil,
ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu'. Jihad
sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat
terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin, bahwa ajakan kepada
Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi
Allah. Bila mereka perlu contoh, maka silakan melihat sendiri fakta di
Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah
dakwah yang sangat meyakinkan.
Namun
lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah, maka orientasi ummat Islam
mulai bergeser. Di satu sisi, sebagian ummat lebih cenderung untuk
"meresapi kehidupan religi" yang disalahtafsirkan sebagai "Jihad
Qubra", sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte "sufi" yang
menjauhi jihad serta amar ma'ruf nahi munkar. Di sisi lain, sebagian
ummat lebih cenderung "menikmati rejeki Allah" dengan hidup lux,
walaupun dari rejeki yang halal. Yang jelas, jihad mulai redup. Dan
dakwah mulai dikerjakan "sambil lalu". Ini yang menjelaskan,
mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas
dikagumi, bahwa "dakwah sambil lalu" dari para pedagang itu toh masih
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama. Namun
fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.
2.2
Lenyapnya Daulah Khilafah
Ketika
qualitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan
sesuai pepatah Arab ("Pemimpinmu itu sebagaimana kamu"). Daulah
khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia,
namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual,
sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih
memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan
"Jama'atul Islamiyah" (=negara dunia Islam) melainkan "Jama'atul
Qaumiyah" (=negara kebangsaan). Akibatnya, potensi ummat Islam mulai
tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa. "Take care"
ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain
tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak
lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya. Di
samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh
ummat Islam sendiri, karena kurang dipelihara.
2.3
Lepasnya Bumi Islam
Ketika
khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah
bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et
impera. Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang
dihasut dan diadu domba. Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu
pihak, dengan imbalan wilayah. Para penguasa muslim tidak lagi sadar,
bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir, dan
perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari
khalifah. Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?
Maka
satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah. Dan mulailah,
sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan
menggeser sistem Islam. Proses ini makin dipercepat ketika kalangan
elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara
material/fisik berada di atas angin.
Ketika
di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali - karena desakan politik
(pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat,
sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak "in" lagi, sistem yang
berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka, sudah sangat
terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat. Sementara
khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal
sudah tidak ada lagi.
3
Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah
Bila
di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang
fikrah maupun thariqah sama-sama terserang "penyakit", maka lepasnya
kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut, atau
setidaknya, menyulitkan proses penyembuhannya. Ibarat seorang pasien
penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani, maka mestinya
penanganannya dilakukan secara holistis ("menyeluruh"), dan tidak
sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan
jasmani, dan demikian pula sebaliknya.
3.1
Disintegrasi Studi Islam
Pada
awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh. Prioritas
mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukm syar'i
amal/prakteknya (fardh-mustahab-mubah). Suatu amalan yang fardh, maka
semua ilmu yang terkait pun fardh. Maka ketika jihad fardh, iptek
pendukung jihad pun fardh. Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan
dengan benar, tak ada dikotomi antara so called "ilmu agama" dengan
"ilmu dunia", tidak ada pemisahan antara hukum waris dengan aljabar,
atau ilmu sholat dengan astronomi, dll.
Namun
lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum
muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu "ide" namun mengabaikan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut. Maka
mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang
nikah dan cerai; namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad, khilafat,
lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam. Belakangan, sistem peradilan
bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan
hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana, ekonomi, tata negara
dsb; dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar'i) yang cuma mengurusi keluarga
(nikah, cerai, waris). Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk
semua jenis peradilan.
Mereka
mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya.
Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan
dijalankan oleh individu, keluarga atau negara sebagai organ exekutif.
Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadhi
(=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita.
Maka ketika syari'ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum
positif, mulailah ia jauh dari realita. Fiqh Islam didegradasi menjadi
aspek teoretis-moral saja. Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan
solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat, dan para ahlinya diturunkan jabatannya
menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan
khutbahnya yang selalu diulang-ulang, tanpa bisa melahirkan suatu energi yang
produktif. Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap
"melangit" dan tidak "membumi".
Akibatnya,
pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada
studi yang lebih praktis seperti teknologi, kedokteran, ataupun "ilmu-ilmu
sistem" yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif, meskipun tidak
berasal dari Islam. Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh
mereka yang secara umum "second class", walaupun tetap ada satu dua
orang yang gemilang, sebagai perkecualian. Sementara itu, secara
keseluruhan, ummat menganggap studi Islam sebagai fardhu kifayah, dan gugurlah
kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya. Padahal
mestinya, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardhu ain untuk
mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari,
karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan
Allah. Hanya ijtihad untuk menurunkan hukm syar'i dari Qur'an dan Sunnah
yang fardhu kifayah.
Akibatnya,
sprial kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi. Mereka yang akhirnya
secara formal dianggap "pakar" dalam studi Islam, sering tidak lagi
kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual.
Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan
mudah dijadikan masyarakat sebagai "tokoh Islam", yang didengar ucapannya,
dan diikuti pendapatnya.
3.2
Evolusi Islam
Akibat
"the wrong man on the wrong place" ini, yang sering ada bukannya
"Islam meluruskan masyarakat" namun "Islam disesuaikan dengan
masyarakat". Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan
ide-ide asli Islam, maka Islam dicoba ditafsirkan kembali agar konform dengan
"semangat zaman". Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum
parsial, namun bahkan ushul fiqh yang fundamental. Maka timbullah
prinsip-prinsip nyeleneh seperti "Fiqh itu mengikuti tempat dan
waktu", atau "Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum", atau
"Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan", dsb. Bahkan tidak jarang,
mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim
kontemporer dijadikan hujjah.
Mereka
mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami
inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat). Pelacuran,
judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru
ditolerir secara terbatas dengan istilah "lokalisasi".
Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak
ada mimpi yang melarangnya. Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab
karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.
Dan
karena "semangat zaman", maka semua hukum Islam yang lain pun
disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern, entah itu kapitalisme, marxisme,
sekulerisme/demokrasi, dsb. Bahkan mereka menganggap "ada demokrasi
dalam Islam" atau "ada kapitalisme dalam Islam". Mereka
tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu,
sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai
kapitalisme, dan toleransi mazhab sebagai sekularisme.
Bahkan
mereka anggap, syi'ar Islam bisa "ditinggikan" atau "disempurnakan"
dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dsb. Mereka
berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih
"ramah". Namun pada hakekatnya, Islam justru semakin jauh dari
kehidupan. Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai
"agama yang diakui negara", "agama negara" atau sekedar
kenyataan bahwa "kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku
muslim". Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini
mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh "penjajah
muslim". Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh
Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.
3.3
Terpojok di Sudut Defensif
Ketika
fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mukmin
tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan lingkungan, khilafah sebagai
methode menerapkan Islam di masyarakat tidak exist lagi, bahkan
masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam
ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat
namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari
orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.
Musuh-musuh
Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummat Islam dengan
kekuatan senjata. Karena itu, mereka berupaya terus menerus tanpa
henti, untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi
kepentingan mereka. Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang
sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan
tatag dihadapinya. Namun kini, ketika akar sang pohon sudah lapuk, maka
terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.
Maka
ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan, ketika dikonfrontasikan dengan
berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur'an atau Sunnah sendiri.
Mereka tidak bisa menerangkan, mengapa Islam memerintahkan memotong tangan
pencuri, atau membagi warisan bagi lelaki 2x wanita, atau bahwa seorang lelaki
boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad,
dsb. Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai barbarik,
bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik
dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa dengan terbata-bata membela
diri. Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam, sekedar musuh-musuhnya
puas, dan kritikan mereda.
Mereka
katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis. Mereka
katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama, karena wanita
muslim sekarang sudah sama derajatnya. Tentang polygami, mereka
katakan, sebenarnya di Qur'an diharamkan, karena manusia tidak mungkin
berlaku adil. Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan
bila ummat Islam diserang (defensif).
Amboi,
betapa jauhnya tafsiran-tafsiran "modern" ini dengan ajaran Islam
yang murni. Karena dalam Sunnah-nya, Rasulullah telah menunjukkan sendiri
bahwa ia memotong tangan pencuri, bahwa ia menikahi banyak istri, dan bahwa
jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan
jihad ketika ummat Islam diserang. Dan ajaran Islam merupakan risalah
terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari
kiamat. Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan
dengan "niat baik", namun hasilnya malah justru memporak-porandakan
ajaran Islam yang murni. Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi, karena
ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang
dihujjat tadi, memang tak bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi
dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu
daulah khilafah.
Spiral
kemunduran berputar semakin cepat. Orang-orang yang ditokohkan berlomba
mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena
kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya
pada para ulama - termasuk ulama yang shaleh. Bahkan mereka yang semula
gembira dengan type ulama ini, karena merasa bisa "ngerti bahasanya",
lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi. Dan
akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.
Ummat
yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari
sumbernya: Qur'an dan Sunnah. Namun mereka lupa, bahwa untuk itu
diperlukan seperangkat bekal, baik ilmu bahasa Quran (bahasa Arab klasik)
maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena mereka maju tanpa bekal ini,
mereka akan terbentur ke sana ke mari. Akhirnya kalau tidak terjerumus ke
extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardh semua dan yang
lain haram semua), akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits,
karena terlalu was-was dengan hadits yang "tidak jelas", dan
ujung-ujungnya meragukan Qur'an, karena tanpa penjelasan dari hadits, Qur'an
mustahil dipahami dengan benar).
Maka
tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya
diganggu. Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani
memulai (pro-aktif). Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai
muslim, karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa
dijawabnya. Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya
sensitif bila ada kristenisasi, namun "cuek" bila hukum-hukum kafir
diberlakukan di atasnya. Bahkan mereka marah, bila ada orang yang berbeda
madzhab sholat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun
tenang-tenang saja, ketika harus bermuamalah dengan riba, atau harus mendidik
anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler.
Ummat
Islam jadi tersudut di pojok defensif. Jarang dari mereka yang berani
mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan
pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam
ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial). Tidak ada lagi dakwah
offensif sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya
terdahulu.
Hasilnya
memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam
kini tinggal ahlaq - tanpa jihad,
Islam
kini tinggal ibadah (ritual) - tanpa syari'ah,
Islam
kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam
kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam
kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam
yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya
umara' yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya' yang zuhud atau mujahidin
yang zuhud.
Islam
yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya
atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari
kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era
globalisasi.
dan
Qur'an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan
Qur'an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan
Qur'an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan
Qur'an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi
kekayaan alam dengan adil,
dsb.
Inilah,
Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun
kadang mereka merasa "ada kebangkitan", ketika melihat masjid penuh,
MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji. Namun mereka bingung,
ketika ketidakadilan tetap saja langgeng, dan korupsi, kolusi serta manipulasi
malah justru makin menjadi.
Ibarat
orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi
atau dikasih antibiotik, namun hanya dikasih valium. "Valium
Islam".
Dan
inilah realita yang sangat pahit. Adakah obatnya? Pasti, untuk
setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya. Masalahnya hanya apakah
kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat baik kauni maupun
qur'ani, sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar