Masyarakat kita, biasa mengadakan tahlil harian untuk saudaranya
sesama muslim yang meninggal dunia. Tahlil itu sering diadakan secara
estafet. Maksudnya, ada tahlil pada hari pertama, kedua, hingga hari
ketujuh dari hari wafatnya seseorang. Setelah itu, pada hari keempat
puluh, hari keseratus, hari genap setahun (haul) hingga hari keseribu.
Kebiasaan
ini sering dipermasalahkan dan dihubungkan dengan akidah Islam.
Umumnya, orang sering bertanya: "Apakah tahlil harian itu memang ada
dalilnya? Di zaman Nabi, tahlil semacam itu apa pernah diselenggarakan?
Bahkan ketika Nabi wafat, apa keluarga dan para sahabatnya juga
melakukan hal yang sama?"
Pertanyaan beruntun itu, dari
dulu hingga kini, masih kerap muncul. Meskipun, saya juga yakin,
orang-orang yang mempertanyakan hal itu juga merasa ngeri dan takut;
jangan-jangan kelak jika ia mati, tidak ditahlili, he..he... Yang lebih
kritis lagi, budaya tahlil harian di tengah masyarakat ini, juga
dituding berbau sinkritisme. Ada tuduhan bahwa tahlil pada hari-hari
tertentu itu adalah pengaruh dari ajaran Hindu dan Budha.
Aneka
upacara penganut Hindu dan Budha pada hari-hari tertentu, terutama
terkait dengan pemujaan arwah yang diselingi dengan penyajian sesaji,
ditengarai telah berpengaruh besar terhadap pelaksanaan ritual agama
Islam. Lebih lanjut lagi, tuduhan itu juga dikait-kaitkan dengan metode
dakwah Wali Songo. Dalam masa awal dakwah, para wali sengaja
memodifikasi adat-istiadat masyarakat setempat dengan warna keislaman
sehingga percampuran budaya dan agama (baca: sinkritisme) ini harus
dimurnikan. Kini, saat Islam telah dominan, harus ada upaya pemurniaan
ajaran Islam, salah satunya adalah tahlil harian tersebut.
Inilah
bagian dari tuduhan itu, atau lebih tepatnya, inilah salah paham
orang-orang yang mengaku ingin memurnikan akidah Islam, tapi justru
menciptakan konflik baru. Tuduhan itu, dalam tataran budaya, justru
berupaya mencabut Islam dari akar budaya lokal dan menimbulkan friksi
berkepanjangan. Padahal seharusnya, hal ini tidak perlu.
Meski
demikian, permasalahan klasik ini memang perlu dijawab. Kesalahpahaman
harus diluruskan dan dicerahkan agar tidak asal menyalahkan,
mensesat-sesatkan, atau bahkan mengkafir-kafirkan.
Sesungguhnya,
bersedekah dan menyelenggarakan tahlil pada hari-hari tertentu, bukan
berasal atau terpengaruh budaya Hindu dan Budha. Ini adalah tradisi
salaf (para sahabat dan tabiin), bukan pengaruh Hindu Budha (al-Hawi li
al-Fatawa, II/391). Ingat, tradisi SALAF, bukan SALAFI lho. "La yastawi
(tidak sama) antara SALAF dan SALAFI".
Menurut Imam Nawawi
al-Bantani (Nihayah al-Zain, 281), bersedekah atasnama mayit dengan
cara yang sesuai syara', sangat dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus
hari ketujuh, lebih atau kurang dari tujuh hari. Artinya, kita bebas
tahlil berapa hari yang kita mau. Sedangkan sedekah pada hari-hari
tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat dan itu tidak
bertentangan dengan syara' sebagaimana fatwa Kiai Ahmad Dahlan.
حدثنا
هاشم بن القاسم قال حدثنا الأشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى
يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
(الحاوي للفتاوى، 2/178)
Imam
Ahmad bin Hambal, dalam kitab al-Zuhd, menyatakan bahwa bersedekah
selama 7 hari itu adalah perbuatan sunnah. Sebab, tradisi itu merupakan
salah satu bentuk doa kepada mayit yang sedang diuji di dalam kuburan
selam 7 hari. Imam al-Suyuti menganggap hal tersebut merupakan sunnah
yang telah dilakukan secara turun menurun sejak masa sahabat.
أن
سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر
أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى
الصدر الأول
(الحاوي للفتاوى، 2/194)
Menurut Imam
Jalaluddin al-Suyuti, kesunnahan memberi sedekah makanan selama 7 hari
merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (abad IX
Hijriyah), baik di Mekah maupun Madinah. Yang jelas, tradisi itu tidak
pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi saw sampai kini. Sekali
lagi, tradisi itu diambil dari ulama salaf mulai generasi pertama,
yakni masa sahabat Rasulullah saw.
عن ابن عباس أن رجلا قال
: يا رسول الله إن أمي توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها. قال: نعم. قال: فإن
لي مخرفا فأشهدك أني قد تصدقت به عنها.
(سنن الترمذي، 605).
Ibnu
Abbas bercerita, suatu hari, seorang pria menemui Rasulullah saw lalu
bertanya, "Wahai Rasul, ibuku telah meninggal dunia, apakah ada
manfaatnya bila kini aku bersedekah untuknya?". "Iya", jawab Nabi. Pria
itu berkata lagi, "Saya memiliki sebidang kebun. Jika demikian, saya
mohon saksikan, aku akan mensedekahkan kebun itu atasnama ibuku" (Sunan
Tirmidzi, 605).
Dari hadis di atas, bisa dipahami bahwa
bersedekah yang pahalanya diperuntukkan bagi mayit, adalah boleh dan
diperkenankan Nabi. Jadi, jangankan bersedekah makanan, kue atau nasi
berkat yang diberikan kepada jamaah, bersedekah kebun pun yang harganya
amat malah, bisa disedekahkan dan pahalanya diberikan si mayit.
Jika
dalil di atas masih dirasakan kurang, kita bisa mengutip pernyataan
Ibnu Qoyyim al-Jawziyah, bahwa memberikan sedekah yang pahalanya
diberikan kepada mayit merupakan hal utama. Dalam pandangan beliau,
sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan
budah, sedekah, istighfar, doa dan haji. Sedangkan pahala membaca
al-Quran secara sukarela dan pahalnya diberikan kepada mayit, juga akan
sampai kepada mayit tersebut sebagaimana pahala puasa dan haji (al-Ruuh,
142).
قال ابن القيم الجوزية: فأفضل ما يهدى إلى الميت
العتق والصدقة والاستغفار له والدعاء له والحج عنه. وأما قراءة القرآن
وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة، فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج
(الروح، 142)
Singkatnya,
sedekah dan tahlil pada bilangan hari-hari tertentu pasca wafatnya
seseorang merupakan tradisi yang disunnahkan. Kegiatan itu bukan sekedar
kumpul bareng atau cangkrukan tanpa makna. Tapi, bacaan-bacaan
al-Quran, sebutan asma Allah, tasbih, tahmid, tahlil, istighfar dan
shalawat yang secara bersama dilantunkan, manfaat dan pahalanya bukan
hanya menjadi milik para pembaca atau tuan rumah saja. Namun, yang tidak
kalah pentingnya, pahala dan keutamaan itu juga sangat dibutuhkan oleh
si mayit.
Membenturkan tradisi tahlil dengan budaya
Hindu-Budha, atau menuduhnya sebagai sinkritisme, apalagi itu dinilai
sebagai warisan dakwah yang tidak murni Islami dari para Wali Songo,
merupakan tuduhan yang salah paham atau paham yang salah.
Para
ulama sekelas Imam Hambali, Imam al-Suyuti, Imam Nawawi atau Ibnu
Qayyim al-Jauziyah yang notabene-nya hidup di masa lalu dan melihat
langsung tradisi para salaf shalih di Mekah, Madinah dan di kota-kota
lainnya melakukan tradisi tahlil, mereka secara terbuka menegaskan bahwa
tradisi itu telah ada turun-menurun sejak dari era para sahabat.
Artinya, tahlil plus sedekah itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan perayaan atau upacara ritual ala Hindu-Budha.
Jika
dihubung-hubungkan antara tahlil dengan ritual Hindu-Budha, ya mesti aja
akan ada titik kesamaan, lha wong budaya itu adalah hasil budi dan
karsa manusia sebagai makhluk berpikir dan berbudaya. Sama saja dengan
upacara pernikahan dimana pengantin putra dan putri duduk di singgasana
(jawa: kuade), jangan-jangan ini juga dituduh sinkritisme dengan budaya
Romawi, Yunani, atau budaya lainnya yang dicap tidak Islami. Bermain
sepakbola, facebook-an, dandan di salon, fitnes, dan hobi-hobi lain,
jangan-jangan juga sinkritisme karena tradisi itu bukan berasal dari
kampung Arab.
Jika semua hal dicap sinkritisme, padahal
hari gini udah zaman modern, mending yang main cap-cap itu pergi sono ke
hutan atau ke padang pasir sambil naik unta!! Lho, kok jadi marah-marah
ya….. Ndak, ini bagian dari ekspresi salah satu teman yang kesal karena
dikatain sesat dan kejawen.
Alhasil, terlepas dari ada
atau tidaknya dalil, yang jelas, upaya memisahkan tradisi ritual agama
Islam dari kehidupan berbudaya dan berakar dari adat-istiadat masyarakat
setempat adalah merupakan tindakan dan tuduhan dari pihak-pihak yang
tidak berbudaya. Slogan pencerahan dan pemurnian ajaran Islam itu, hanya
tabir dibalik upaya mencederai masyarakat muslim Indonesia yang telah
berkarakter dan beridentitas.
sumber : http://www.taufiq.net/2011/06/sinkritisme-tahlil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar