Kamis, 21 Januari 2010

Borok Hukum Sekuler Semakin Nyata

Oleh:
(Koordinator Departemen Opini & Syi’ar Angkatan Muda Baitul Hikmah, Unlam Banjarmasin)

Di tengah keapatisan rakyat atas proses hukum kasus Century oleh Pansus 9 di DPR, kini publik kembali disuguhkan aib, kebobrokan sistem hukum di negeri ini. Sejak senin (11/1) media-media informasi, memberitakan adanya “istana” di dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Hal ini diketahui setelah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi ke rutan-rutan, termasuk di dalamnya Rutan Pondok Bambu, Jakarta tempat Ayin menginap sementara menjalani hukuman. Artalyta Suryani lah atau yang dikenal juga dengan Ayin nama sapaannya, yang memerankan lakon sebagai penghuni “istana” tersebut. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dia dikirim ke penjara oleh pengadilan karena terbukti melakukan rekayasa dan penyuapan terhadap jaksa Tri Urip Gunawan dalam kasus persidangan kasus BLBI beberapa tahun lalu.
Disaat sel lapas penuh dengan penghuninya yang berjubel, nyonya Ayin sendirian dapat menikmati kamarnya yang ada di rutan dengan enjoy. Bukan sembarang kamar tahanan, apalagi sel tahanan, melainkan sebuah kamar menyerupai kamar hotel berbintang yang dilengkapi fasilitas yang wah: sebuah spring bed empuk untuk tidur, televisi untuk nonton dan karokean, alat gym untuk merawat tubuh, serta kamar mandi yang lain dengan kamar mandi para tahanan lainnya.
Media-media pun tak ingin hilang kesempatan memblow-up temuan ini. Pihak-pihak yang dianggap kapabel membahas masalah ini ditanya tanggapannya. Dalam wawancara yang dilakukan oleh TV One dengan salah seorang anggota Komisi III DPR Fraksi PDI P, Panda Nababan, mengatakan sebenarnya masalah ini bukanlah sebuah fenomena yang baru. Sebelumnya pun juga ada elit atau pejabat yang di-rutankan yang selnya dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas mewah.
Memang, temuan ini bukanlah fenomena baru. Bahkan, penemuan akan perbedaan fasilitas antara napi dari kalangan elit dengan kalangan bawah sudah jadi rahasia umum. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan terhadap para tahanan pun dianggap longgar, bahkan terkesan tidak dibina, meskipun tidak semua lapas. Sehingga ada pameo di masyarakat, masuk penjara tidak lagi membuat orang tobat, tapi malah jadi kumat. Apalagi dalam sebuah stasiun TV swasta, ditanyangkan bagaimana penghuni di sebuah lapas yang ada di Makassar dengan mudahnya melakukan kegiatan kriminal seperti bermain judi dan pesta narkoba.
Kalau sudah seperti ini, maka lapas bukanlah lagi sebagai wadah pembinaan para tahanan agar berhenti mengulangi kesalahannya ketika telah menghirup udara. Lapas hanyalah sekedar sebagai tempat formalitas menjalani hukuman, apalagi bagi para elit sel tahanan bisa disim-salabim menjadi kamar seperti di hotel atau di rumah sendiri hanya dengan materi. Padahal lapas dianggap sebagai media sanksi atas pelanggaran-pelanggaran hukum, yang dengannya pelaku diharapkan jera. Sementara sanksi ditujukan agar tidak terjadi pelanggaran norma di masyarakat dalam bentuk apapun. Jadi, bagaimana keteraturan masyarakat akan tercipta jika kondisinya seperti ini?
Akan tetapi, permasalahan tidak sekedar pada lapas saja, tetapi meliputi penerapan hukum secara menyeluruh atau sistemnya. Fenomena bahwa hukum dapat dibeli oleh kalangan elit semakin tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Bagaimana keberpihakan hukum sekuler terhadap kalangan elit begitu ironi sikapnya terhadap kalangan rakyat biasa. Begitupun dengan mafia hukum yang menjual hukum semakin menguatkan betapa kebobrokan sistem hukum negeri ini telah begitu memuakkan. Hal ini mengingatkan penerapan hukum pada masa Romawi, ketika hukum dibedakan untuk si kaya dan si miskin.
Keadilan menjadi terasa langka dan hukum yang ada juga tidak memberi efek jera. Padahal ketenangan lahir, salah satunya karena ada keadilan, dan keamanan dicapai dengan ketiadaan pelanggaran hukum atau paling tidak meminimalisirnya. Manusia akan berusaha untuk mendapatkannya. Hanya saja agar keadilan dan keamanannya tercapai manusia tidak bisa membuat hukumnya sendiri. Hal ini karena hukum yang dibuatnya bisa tercampur dengan kepentingannya secara pribadi ataupun golongan, atau bisa dirubah-rubah jika menghalangi kepentingannya. Sehingga diperlukan sebuah perangkat sistem hukum yang menjamin hukumnya “independen” dari kepentingan manusia.
Islam sebagai sebuah peraturan hidup, tidak luput perhatiaannya terhadap problematika-problematika yang dihadapi manusia. Dengan kata lain Islam memberikan petunjuknya atas manusia bagaimana memenuhi kebutuhan serta menyelesaikan problematika yang dihadapi, termasuk dalam aspek hukum, yang sistem hukumnya “independen” dari kepentingan manusia, karena telah ditentukan oleh Allah swt, sebagai Dzat Yang Mengatur.
Sistem hukum dalam Islam terpancar dari aqidah Islam, yang berasal dari wahyu. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah dan penebus. Pencegah berarti membuat manusia terhalang dari kehendak untuk melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan penebus, sanksi hukuman atas pelanggaran yang dilakukan manusia akan menggugurkan dosanya di akhirat, dan dia diampuni atas pelanggaran hukumnya. Sistem hukum Islam yang diberlakukan terbuktidapat mencegah tindak kejahatan atu pelanggaran hukum. Penerapan syari’ah Islam secara menyeluruh selama kurang lebih 13 abad pada masa Kekhilafahan hanya mencatat 200 kasus kriminal. Begitu juga penerapan Perda Syari’ah di Bulukumba pada tahun 2001 telah menurunkan tingkat kriminalitas sebesar 85%, (www.antara.co.id). Apalagi Islam tidak melakukan diskriminasi perlakuan hukum terhadap elit atau rakyat biasa. Selain itu Islam juga sangat memperhatikan masalah kemiskinan sebagai salah satu faktor yang mendorong kriminalitas.
Sekarang, tinggal kita menentukan, bertahan dengan sistem hukum yang rusak yang semakin waktu menguak boroknya? ataukah dengan Sistem Islam yang jika diterapkan menyeluruh akan memberikan keadilan hukum, keamanan, dan kesejahteraan? Wallahu’alam bi ash shawab. []

Tidak ada komentar: